NAIK DANGO
Naik Dango atau Gawai Dayak merupakan Upacara adat masyarakat kalimantan Barat ( Dayak Kanayatn), yang dilakukan dari daerah Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, hingga Kabupaten Sanggau. Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak. Upacara adat Naik Dango yang merupakan sebuah upacara untuk menghaturkan rasa syukur terhadap Nek Jubata atau Sang Pencipta atas berkah yang diberikannya berupa hasil panen (padi) yang berlimpah. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap tahun setelah masa panen . Upacara adat syukuran setelah panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.
Upacara adat Naik Dango ditandai dengan menyimpan seikat padi yang baru selesai di panen di dalam dango (lumbung padi) oleh setiap kepala keluarga masyarakat Dayak yang bertani/ berladang. Padi yang disimpan di dalam Dango nantinya akan dijadikan bibit padi untuk ditanam bersama-sama dan sisanya menjadi cadangan pangan untuk masa-masa paceklik. Selanjutnya, menimang padi dan diikuti dengan pemberkatan padi oleh ketua adat.
Gawai Dayak Naik Dango merupakan upacara adat yang mempunyai makna syukuran atau berterima kasih kepada Tuhan atas hasil panen yang diperoleh dari sawah atau ladang masyarakat dayak, upacara ini dilakukan setiap tahunnya.
Dango sendiri mempunyai arti yaitu pengambilan padi untuk pertama kalinya dari lumbung yang berada di dekat rumah dan harus dilaukan dengan upacara Naik Dango. Upacara ini berintikan doa dari seorang imam kepada lumbung padi, iman ini mendoakan kepada penyelenggara pesta Naik Dango ini yang dilakukan pagi hari.
Upacara naik dango dilaksanakan melalui 4 kegiatan yaitu persiapan batutuk,matik,nyangahtn dan makan bersama. Batutuk adalah kegiatan menumbuk pada di dalam lesung untuk memperoleh beras, dan yang ditumbuk didalam lesung tidak selamanya beras bisa saja tepung atau beras ketan (po) yang digunakan untuk persiapan makanan dan sesajian.
Upacara Naik Dango merupakan acara yang memiliki 3 aspek pokok yaitu aspek kehidupan agraris, aspek religius dan aspek kehidupan kekeluargaan solidaritas serta persatuan. Aspek kehidupan agraris yaitu kehidupan masyarakat yang bertradisi bercocok tanam, kemudian aspek religius merupakan aspek untuk berterima kasih kepada Tuhan atas hasil panen yang diperoleh dan yang terakhir adalah aspek kehidupan kekelaurgaan solidaritas dan persatuan yang merupakan aspek menjunjung tinggi kekeluargaan antar keluarga terdekat dalam ruma masing-masing tiap tahunnya.
http://bloomasak.blogspot.co.id/2011/05/naik-dango-suku-dayak-kanayant-saat.html
ASAL USUL NAIK DANGO
Upacara Naik Dango didasari mitos popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, khususnya warga Dayak Kanayatn tentang asal mula padi yang berasal dari setangkai padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau.
Kepulangan Ne Jaek yang hanya membawa setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala hasil kayau menyebabkan ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir.
Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “gasing“. Perbuatannya ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia.
Ne Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan manusia dan jubata yang menunjukan kebaikan hati Jubata bagi manusia.
Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kanayatn antara lain, yaitu :
Sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia.
Sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis.
Sebagai pertanda penutupan tahun berladang.
Sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.
http://bombasticborneo.com/2015/10/gawai-naik-dango-at-tauk-village-landak-west-kalimantan/
PELAKSANAAN UPACARA NAIK DANGO
Dalam tradisi nenek moyang Dayak Kanayatn, Naik Dango diawali dengan pertemuan antar penduduk di kampong sehabis panen untuk merencanakan pelaksanaan Naik Dango terlebih dahulu. Pertemuan dilaksanakan beberapa hari sebelum pelaksanaan ritual itu diselenggarakan.
Setelah diputuskan hari pelaksanaan, setiap keluarga di kampong sehari sebelumnya memasak beberapa makanan, sebagai simbol hasil dari kebudayaan agraris masyarakat, antara lain beras ketan dimasak di dalam buluh (bambu berukuran besar), dan tumpi (semacam roti cucur). Selain itu, nasi yang dibungkus dalam daun layang. Kemudian, harus disediakan pula ayam yang masih hidup.
Bahan-bahan itu dibawa ke dango bersama dengan padi hasil panen. Dalam dango dilaksanakan upacara Nyangahatn atau disebut juga Barema. Di situlah, doa-doa pun teruntai kepada Sang Pencipta atau Nek Jubata.
Setelah ritual selesai, semua keluarga yang ada di kampong makan bersama di rumah salah satu penduduk yang biasanya ketua tani setempat. Setiap keluarga membawa menu makanan masing-masing, kemudian saling mencoba masakan satu dengan yang lainnya.
Dalam perkembangannya, ritual Naik Dango yang dulunya hanya diselenggarakan di kampong, sekarang diikuti perwakilan dari Kabupaten Landak, Mempawah, dan Kubu Raya. Jumlahnya ada puluhan kelompok perwakilan beranggotakan ratusan orang. Di ketiga kabupaten itulah yang dianggap menjadi persebaran masyarakat Dayak Kanayatn. Mereka yang hadir dan membawa hasil panen serta sejumlah perlengkapan untuk ritual itu disebut kontingen (pangoyokng) dari kabupaten.
Kini penari yang mengantarkan padi ke dango pun menggunakan pakaian khas Dayak, yang ada unsur kreatifitas terutama dari anak-anak muda. Corak pakaian lebih beragam kreativitasnya. Bahkan, pakaian ada yang dikolaborasikan dengan perhiasan bernuansa modern, sehingga generasi muda juga mempertahankan budaya itu, tanpa menghilangkan jati diri kebudayaan aslinya.
Tak hanya itu, di dalam rangkaian ritual Naik Dango pun saat ini diselingi dengan perlombaan tradisional, antara lain pangka’ gasing, menumbak, dan menyumpit. Selain itu, ada perlombaan nyanyi lagu-lagu tradisional serta pemilihan Dara Cega’ Bujakng Tarigas, artinya dara yang cantik dan pria yang tampan, semacam putri dan putra dalam kontes adat yang diikuti kalangan muda Dayak.
Sumber :
https://fikryfitrablog.wordpress.com/2016/05/24/upacara-adat-naik-dangogawai-dayak-kalimantan-barat/
http://bombasticborneo.com/2015/10/gawai-naik-dango-at-tauk-village-landak-west-kalimantan/
http://bloomasak.blogspot.co.id/2011/05/naik-dango-suku-dayak-kanayant-saat.html
Komentar
Posting Komentar